Belajar dari Standar Kualitas Jerman

Semenjak pindah ke Jerman, saya merasa cukup frustrated karena tidak terbiasa dengan pola hidup yang rapi & demand kualitas pekerjaan yang cukup tinggi di Jerman. Lalu saya menyadari bahwa mungkin inilah yang membuat Jerman unik. Mereka begitu paham apa yang mereka kerjakan, sehingga produk yang mereka hasilkan selalu reliable & berkualitas tinggi. Tetapi mereka cenderung lambat dan risk-averse dalam berinovasi. Mari kita lihat beberapa contoh berikut.

Mobil Jerman vs Mobil Jepang
Anda pasti sudah tidak asing dengan merk BMW, Volkswagen (VW), dan Mercedes-Benz. Apa yang pertama kali muncul di pikiran anda saat mendenger merk tersebut? Mahal & berkualitas. Ya, itulah contoh nyata hasil produksi Jerman.

Lalu apa yang ada di pikiran Anda saat mendengar merk mobil Jepang berikut: Honda & Toyota. Yang pasti mereka punya produk range yang cukup beragam. Ada yang sangat affordable seperti Toyota Avanza, Honda Jazz, dsb, sampai yang kelas atas seperti Toyota Harrier, Fortuner, Honda Odyssey, dsb. Sayangnya, menurut Ayah saya, mobil mahal Toyota & Honda masih belum ada apa-apanya dibanding mobil buatan Eropa. Secara teknologi, safety, dan kenyamanan sepertinya belum setara.

Namun, di Indonesia kita lebih sering melihat mobil merk Jepang dibanding merk Jerman. Ya tentu karena tidak banyak yang mampu beli mobil merk Jerman karena harga yang terlalu mahal. Inilah contoh bagaimana brand Jerman kehilangan kesempatan untuk tap into market yang cukup besar tapi receh seperti di Indonesia, karena mereka cuma memproduksi mobil dengan kualitas tinggi.

Adidas vs Nike
Adidas itu brand dari Jerman! Selama ini saya kira adidas berasal dari Amerika Serikat. Lalu apa bedanya dari Nike? Secara harga & jenis produk mungkin mereka sangat mirip. Tapi menurut saya, Nike lebih cepat dalam berinovasi, contohnya Nike+ (sensor di sepatu). Sepertinya sampai sekarang adidas tidak punya produk seperti itu. Lalu, mobile app untuk training/running sudah dirilis Nike sejak 2009. Sementara itu, adidas baru punya app sejenis setelah akusisi Runtastic di tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa Nike lebih cepat dan “berani” dalam berinovasi.

Kesan
Kesan saya terhadap perusahaan Jerman: they stick to quality. Gak ada yang namanya asal-asalan atau coba-coba dalam memproduksi sesuatu. If they do something, they do it really well. Jujur walaupun saya jadi frustrasi dan stres sendiri karena tidak terbiasa dengan cara kerja yang seperti ini (saya cenderung serampangan dan risk-taker), saya benar-benar kagum dengan konsistensi mereka. Konsistensi yang bukan cuma pada setiap individu, tapi juga antar individu, karena hampir semua orang Jerman pintar. Inilah hasil nyata dari pendidikan yang merata & berkualitas.

Hidup tanpa checklist?

I am a very goal-driven person. Gak cuma goals semacam resolusi tahun baru, atau planning stage kehidupan (which uni should I apply to? which company should I work for?), tapi juga daily goals seperti apa yang gw selesaikan hari ini?

I used to think it was a good idea to boost my productivity. Yes, it has been a really good idea. Tapi jujur lama-lama capek juga, capek to the point that gw bisa aja gitu dalam satu weekend cuma santai-santai aja and I don’t feel as guilty as I used to. Bahkan I’ve recently been thinking: gimana caranya gw bisa merasa cukup, settle & be content with what I have?

Dulu gw pernah punya goal untuk kuliah di kampus top dunia. I did it, dan udah aja gitu. Happy nya cuma sebentar. Gw malah jadi wondering knp gw gak coba tes ke kampus yang peringkatnya lebih tinggi?

Lalu gw punya target untuk punya gaji XX juta setelah lulus S2. Ternyata gw dapat offer yang lebih dari target gw itu. Again, happy nya hanya sebentar di awal, setelah itu gaji itu terasa kecil. Walaupun cukup banyak yg bisa ditabung tetap rasanya kurang terus.

Kemudian gw ingin punya achievement lebih. Gw mau kerja di luar negri, di top tech company. Tercapai lagi, dan lagi-lagi hanya dalam hitungan bulan gw kembali merasa ada yang kurang. Padalah quality of life gw sudah jauh meningkat. I am surrounded with amazing people, humane society (much more than di Indo), I can even travel on monthly basis. Tapi gw selalu ingin lebih.

Maybe achievement is an addiction. Once you’re used to it you’ll always want to achieve more. Tapi apakah itu justified? Lama-lama capek juga jadi org yang selalu pengen achieve. Gw pengen enjoy hidup tanpa checklist. Pengen deh coba stay di suatu company dalam waktu yang lama instead of pindah-pindah. Ooops, is that another goal?

Mengagumi Bangsa Eropa

Saat sekolah dulu, yang saya tahu dari bangsa eropa hanyalah penjajahan dan kolonialisasi di tanah air. Setidaknya itulah topik yang hampir selalu dibahas di pelajaran sejarah. Semua cerita pun berpusat pada Indonesia dan kemalangan yang terjadi. Bahwasanya kita belum menjadi maju karena dulu dieksploitasi dan dibodoh-bodohi oleh para penjajah. Cerita tentang negara lain di masa yang sama, dulu saya tidak tahu.

Dulu juga, sepengelaman saya pribadi, orang-orang selalu bilang betapa beruntungnya tinggal di Indonesia yang punya alam yang indah dan diberkahi dengan berbagai sumber daya alam. Negara-negara barat itu, walaupun maju tapi alamnya tidak seindah dan sekaya kita.

Apa iya?

Di tahun 2017, saya berkesempatan melihat eropa dengan mata saya sendiri untuk pertama kalinya. Saya terkagum-kagum melihat betapa nyamannya tinggal di negara maju Eropa. Public transport yang bagus dan well-connected, jalan yang bersih, lingkungan yang aman (dibandingkan dengan Jakarta), dan orang-orang yang sangat menghargai personal space. Ternyata inilah wajah banga penjajah itu! Ternyata mereka memang hebat!

Selain itu, setelah datang dan melihat exhibition yang ada di berbagai museum, saya jadi lebih tahu banyak tentang sejarah dunia. Ternyat ada cerita yang lebih besar di tahun 1945, cerita yang punya impact lebih besar terhadap sejarah dunia, dibandingkan dengan kemerdekaan Indonesia. Ternyata di tahun yang sama itu, bangsa eropa baru selesai dan berusaha bangkit dari perang dunia kedua. Tidak hanya sekedar gejolak politik, tapi mereka juga butuh bangkit dari trauma, kehancuran, kelaparan, dan kemiskinan yang diakibatkan oleh perang tersebut. But look at them now. Ah, kalau begini rasanya Indonesia belum maju karena kebodohan dan ketidakpedulian kita sendiri.

Hampir 3 tahun berlalu sejak pertemuan pertama saya dengan Eropa, dan kini sudah lumayan banyak wisata alam di Eropa yang saya datangi. Menurut saya, mereka tidak kalah indah dari alam Indonesia! Gunung-gunung & sungai yang indah, dengan pengunjung yang datang karena ingin menikmati keindahan alam dan bukan sekedar selfie. Juga kebersihan, fasilitas, dan perawatan yang patut diacungi jempol.

Tapi yang paling bikin saya kagum adalah awareness dan kepedulian mereka terhadap bumi tempat kita hidup ini. Pemerintah yang berusaha untuk fighting climate change, diiringi dengan kehadiran masyarakat yang juga sangat peduli lingkungan dan animal welfare, yang mana salah satu caranya adalah dengan vegan atau vegetarian diet. Di mata saya, mereka lah manusia yang responsible dan luar biasa.

Jika anda pernah baca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Tour, ya kira-kira sekarang lebih paham perasaan tokoh Mingke. Exposure terhadap pendidikan dan pergaulan eropa mengubah pribadi dan cara pikir dia. Bukan karena lupa akar atau tidak menghargai adat. Tapi…. yasudahlah, sulit dijelaskan sampai anda merasakannya sendiri.

Environment Baru dan Membangun Resilience

Apa yang gw harap dulu saat memutuskan pindah untuk bekerja di Eropa?

Gw cuma mau merasakan environment berbeda & multicultural, di tech company yang udah profit-oriented instead of traction-oriented. Sejujurnya, gw gk ada keinginan spesifik untuk ngembangin technical ataupun non-technical skills. Toh, kerjaan gw bakal lebih susah dari yang sebelumnya, jadi tinggal ngikut kebutuhan skill utk project2 yang gw kerjakan nantinya aja.

Lalu apa yang gw dapatkan setelah >6 bulan bekerja disini?

First of all, of course sesuai ekspektasi, gw merasakan environment yang completely different. Tapi menurut gw malah co-worker gw disini lebih friendly dibanding co-worker gw di Indo dulu. Mungkin karena sebagian besar dari teman-teman disini juga seorang expat sehingga mereka sangat bersimpati ketika ada expat baru. Struktur organisasi yang super flat juga membuat orang gak pilih-pilih ketika mau balas chat/bantu project orang lain.

Secondly, orang-orang dengan role yang sama dengan gw disini technical skills nya luar biasa, sehingga gw merasa cupu bgt. Dulu gw ngerasa bahwa bisa python adalah advantage yang sangat besar di job ini. Tapi ternyata disini banyak analyst yg technically jauh lebih jago dari gw, walapun gk semuanya pakai Python (ada yang prefer R atau SQL, but they’re all super good at tools of their choice). Plus, bbrp org juga udah punya gelar PhD; surprisingly mereka sangat humble dan gak gengsian. Jadi intinya disini gw cuma remah-remah biskuit.

But the most important of all, disini gw belajar yang namanya resilience. Gak cuma karena gw merasa cupu. Tapi juga karena proses relokasi gw kesini sangat sulit, dan setelah sampai disini pun masih byk urusan ini itu yang menguras tenaga dan pikiran gw. At work, gw gapunya privilege dimana orang-orang akan bilang gw pintar hanya karena gw kuliah di ITB atau punya gelar S2 dari top uni di UK. Kalau gw salah ya gw salah. Kalau metode gw bodoh ya orang akan bilang itu bodoh. Apalagi gw gak tau byk tentang marketing (hint: marketing di indo sangat jauh ketinggalan dibanding disini, yang punya 1 tim sendiri untuk bidding di search engine!), sehingga setiap project baru gw butuh waktu lama untuk ngerti konteks. Ini benar-benar melatih resilience gw, karena pertama kalinya gw merasa diri gw lelet bgt! Akhirnya gw juga jadi belajar untuk lebih nurut, percaya, dan let other people help me.

All in all, gw seneng bgt karena disini banyak topik yang bisa jadi pembuka conversation selain “lo dulu kuliah dimana?”. Gw seneng karena orang-orang disini menilai gw dari personality dan hasil kerjaan gw, bukan dari almamater gw. Gw senang karena gw belajar nge-develop trait yang kurang dari diri gw. Gw senang karena punya teman-teman yang awesome & bisa gw jadikan panutan 🙂

Ibu TKW dan Kenapa Kita Harus Berani Bertanya & Meminta

Enam bulan yang lalu, saat gw berada di pesawat sebelum menuju ke Jerman, di sebelah gw duduk seorang TKW (tenaga kerja wanita) yang nampaknya baru pertama kali naik pesawat. Penerbangan itu transit di Dubai sebelum menuju Jerman, jadi ada beberapa TKW di pesawat tersebut.

Lewat cerita ini ada dua poin yang ingin gw sampaikan.

Yang pertama adalah kontradiksi terkait gimana gw dan ibu TKW itu menanggapi perpisahan yang sebenarnya sangat mirip. We were both leaving to work abroad. I was so chill about it and she was totally dramatic. Sebelum pesawat take-off, si ibu itu menyempatkan diri untuk telepon keluarganya. It was very dramatic; she was crying. Padahal posisi kami berdua sebenarnya mirip. Gw juga akan pindah ke luar negri (bahkan lebih jauh dari Arab!) dan tidak akan pulang untuk waktu yang cukup lama. Tapi saya tidak se-lebay itu sampai menangis, toh gw akan pulang minimal setahun sekali, dan keluarga gw juga bisa berkunjung ke Jerman.

Disitu gw mencoba melihat dari perspektif lain, dan gw jadi paham ironi ini:

  • It was not my first time bidding farewell to go somewhere far. Dua tahun sebelumnya, gw juga pergi ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan. Sementara untuk ibu itu, mungkin ini pertama kalinya ia berpisah dari keluarganya.
  • Me & my family can afford visiting each other. Penerbangan 17 jam, menempuh jarak 14 ribu kilometer hanyalah perpisahan sementara untuk kami. Justru keluarga gw  melihat kepindahan gw ini sebagai kesempatan untuk mereka liburan ke Eropa lagi. Sementara keluarga ibu TKW itu belum tentu bisa berkunjung ke negara tempat dia bekerja. Here I realized how lucky I am.
  • I rationalize everything. Untuk bersedih pun, gw perlu alasan. But I noticed that for some people, the logic side is weaker than the feeling side

Yang kedua adalah tentang bagaimana ibu ini sangat takut untuk memanggil pramugari (untuk minta tambah air minum). Dia grusak-grusuk sama mba-mba lain di sebelahnya saat pramugari lewat karena mereka berdua ngga berani panggil pramugari tersebut. Apakah si ibu itu merasa karena dia miskin & pertama kali naik pesawat, dia jadi perlu takut bertanya pada pramugari? In my opinion it’s totally irrelevant. She bought the ticket to the plane, why would she be afraid to ask to the flight attendant?

In general she shun away from asking for any help even to me who sat next to her (I had to offer her to show how to wear the seat belt because she looked so confused but afraid to ask me). I felt really sorry for her. I bet she represents most Indonesians out there who are so timid because they had never been taught to speak up. I feel sorry that many of us Indonesians had never learn how to ask for something.

Menurut gw hidup ini unfair because most people will only get as much as what they’re willing to ask for. Contoh yang paling jelas adalah kompensasi di kantor. It’s almost never purely about skills & performance. Biasanya yang dapat gaji lebih tinggi adalah yang minta gaji lebih tinggi. Every question you didn’t ask and every demand you didn’t mention is a lost opportunity.

Gw bisa menerima perbedaan reaksi gw dan ibu itu terkait farewell. Malah buat gw, it was a realization karena gw jadi bisa melihat fenomena tsb dari perspektif yang berbeda. Namun, untuk masalah tidak berani bertanya, I don’t think there is any acceptable reason for me!

 

 

Mozart, Range, dan Timing Kehidupan

Beberapa hari yang lalu gw berkesempatan untuk mengunjungi Salzburg, kota kelahiran Mozart (yes the famous composer Wolfgang Amadeus Mozart). Everywhere in the city you’ll find anything Mozart, mulai dari kafe, monumen, museum, dan berbagai merchandise.

What’s so special about him? Selain karena dia merupakah salah satu komposer terkenal, dia juga mulai menulis lagu saat masih sangat muda. When he was a teenager, he had been playing in various concerts and creating his own musical masterpieces. Di umur yang sama, I was struggling to learn those pieces! Sungguh beda nasib, hahaha 😀

But it’s okay. Di saat yang sama gw juga selesai baca buku berjudul “Range“. Si penulis menjelaskan bahwa setiap orang punya path dan pace nya masing-masing. Tidak mesti punya timeline persis Mozart untuk sukses. Headstart memang berharga tapi tidak ada kata terlambat untuk memulai (I know it sounds so vague but you should read the book to understand why!).

People around are gonna keep reminding us about the artificial life deadlines. Gw rasa ini sangat akut terutama di Asia, umur sekian udah harus mapan, umur sekian udah harus nikah dan punya anak, dsb. But I’ve seen too many people who were considered “late” became more successful than many of those who were “on time”. Gw pun percaya bahwa tiap orang punya timing nya masing-masing, and I stop concerning over what other people might say.

 

My 2019 Recap & Lesson Learned

Recently I’ve been thinking maybe I should fully write in Bahasa in this blog. Kangen juga nulis panjang dalam bahasa sendiri. Please pardon me kalau gw campur bhs indo-inggris, soalnya ada bbrp phrase yang rasanya lebih jelas kalau gw pakai bahasa inggris.

Anyway, sbnrnya gw bukan tipe org yg retrospeksi di tiap pergantian tahun. I do my retrospective on rolling basis, whenever I feel like it. Bisa jadi tiap bulan, bisa jadi tiap ada major event di hidup gw, pokoknya kapanpun gw merasa perlu deh. Terakhir gw melakukan rekap pergantian tahun adalah di 2015, seperti yang gw tulis disini. That year I was really ecstatic karena banyak pengalaman dan achievement baru yang gw dapat.

To be honest, tahun 2019 ini agak unik buat gw. I got a mixed feeling. I felt like riding on a rollercoaster into an unknown track because I was disappointed with my last ride. Gw merasa gak cuma memulai kehidupan baru, tapi juga jadi manusia baru dengan perspektif yang lebih fresh dan dewasa.  Let’s review the highlights in a chronological order (ini bakal panjang bgt soalnya gw skalian curhat):

  1. I started the year as an employee at the biggest tech unicorn in the country. I met and worked with lots of amazing people, I earned a good salary, and I got used to commuting for 1.5 hour each way. Yet I wasn’t happy and it was hard to describe. Disitu gw mikir bahwa gw butuh perubahan. I needed a totally different environment and I wanted to get out of my comfort zone and common perceptions. Maksudnya, gw bosen aja dengan environment yg gitu2 aja di tech industry di Indo, gw bosen dengan org2 yang nganggep gw pinter karena gw dari ITB & S2 di UK, gw bosen dengan org2 yang mikir hidup gw enak karena gaji gede dan kerja santai, dan more importantly gw jenuh dengan lifestyle gw yang gak sehat semenjak gw balik ke indo lagi. Gw sempet menganggap bahwa realita gw gak sesuai dengan ekspektasi gw pas balik ke indo, tapi trs gw sadar bahwa sebenernya gw bahkan gatau apa yg gw mau?!
  2. Kemudian gw inget apa yg gw mau. Gw tuh gamau balik ke indo! Gw udh tau bakal gitu2 aja. But I decided to leave UK for good because I got a good offer from Indo and I was too lazy to apply for jobs in Europe. There I found my problem: gw mager. So then gw coba pakai prinsip yang sama yang diajarin Will pas ngerjain disertasi dulu -> “a k a day keeps the deadline away” yang artinya cicil 1000 kata per hari biar gak mepet2 deadline kelarnya. In this case gw coba submit at least 1 application per day. Sebelum mulai submit tentunya gw udh pilih2 company dan kerjaan yg gw mau. Jujur dulu gw ga berharap byk sih karena gw selektif bgt mau apply ke company apa dan role apa, gw cuma pengen bisa bilang ke diri gw kalau “at least gw udh coba”.
  3. Semakin hari berlalu, gw semakin gapunya motivasi di kantor. I still did my best in every task but I couldn’t stand irrationalities any longer. At that time gw selalu teringat how awesome my team was when I worked in London, and how amazing my uni friends were because they were able to bring out the best of me. Yes, disini gw nyadar tipe teammates dan manajer seperti apa yg bikin gw thrive. Ujung2nya gw jadi flashback ke masa2 lampau dan jadi ingat semua org yang kasih gw customized treatments biar gw ga cepat bosan dan terjauh dari hal2 yang gak gw suka. Terus gw tersadar bahwa gw tuh gak loyal bgt and I didn’t even given them the appreciation they deserve. I was such a jerk. In parallel, gw mulai dpt interview invitation dan gw juga diajak join ke startup salah satu sahabat gw pas kuliah.
  4. Gw galau, di satu sisi kyknya too much to lose aja from this job. Gw sempat kepikiran “maybe things will change soon so I shouldn’t leave”, “maybe I am the one who should change”, “maybe I need to be more mature and more patient”. But then gw mulai interview, case study, dkk. Gw inget bgt pas ngerjain case study trivago, gw berkali2 self-talk “I can’t fail this one. I went this far so I can’t fail no matter what.” Seingat gw, sepertinya gw selalu dpt apa yg gw mau if I want it so badly dan berhasil meyakinkan diri gw sendiri bahwa gw harus dan pasti dapat. Masalahnya, gw tuh quitter. Gw jarang bgt “want something so badly”. Most of the time gw akan estimate probability gw bisa dapetin itu, dan kalo probabilitas nya kecil, I will suddenly lose the force. But that one time, gw tau gw gaboleh jadi quitter.
  5. Gw masih proses interview, tapi suatu hari di kantor gw udh muak bgt dan gw message bos gw kalo gw mau resign atau coba role di tim lain. Bos gw lagi cuti, dan sblm dia balik gw juga cuti liburan. Pas lagi cuti itu gw dpt email dari trivago utk invitation for another call. Balik liburan akhirnya gw di call dan ternyata gw di offer 🙂 Kemudian gw accept offer nya dan besoknya lgsg bilang ke bos gw kalo gw fix resign. At this point gw sbnrnya blm bilang ke ortu gw kalo gw mau pindah ke luar negri. Gw takut mereka gak setuju jadi gw berencana ttd kontraknya dulu, baru bilang ke mereka biar keputusan gw gabisa di veto hehehe (pas akhirnya gw bilang, ternyata nyokap gw happy2 aja gw dpt kerja di Jerman).
  6. Awalnya paperwork terlihat lancar2 aja, sampai ada masalah dan embassy gamau ngasih gw visa seperti yg gw ceritakan disini.  Disinilah titik dimana pertama kali di hidup ini gw mulai merasakan yang namanya anxiety. Ini pertama kalinya gw dpt pengalaman bahwa sesuatu yang sepertinya udh gw dapatkan ternyata gak bisa gw dapatkan, and my world can fall apart in one blink of an eye. Sebenarnya ada faktor gw udh pengangguran juga, jadi gw gak banyak kegiatan ataupun bersosialisasi. Tiap gw gak ada kerjaan inilah gw kepikiran yang aneh2 sampai rasanya deg2an terus menerus. Pas akhirnya visa gw keluar, anxiety gw hilang. Gw sempat googling kenapa kok gw bisa sampai anxious gini, trs ujungnya gw malah berhipotesis jangan2 gw tuh sbnnrya ADHD (attention deficit hyperactive disorder). Gw sering hyperfocus (dan ini bikin gw bisa kerja super fokus dan cepat), tapi sekalinya gw lupa bikin to-do list, gw lost bgt kyk gatau mau ngapain seharian dan jadi pindah2 mau ini itu. Terus gw sadar bahwa wow my parents have no awareness that my discipline issue is probably be caused by a psychological issue instead of simply karena “malas”. Just like almost all parents yang satu generasi dengan mereka, ortu gw bener2 gapunya any scientific knowledge about parenting.
  7. Gw pindah ke Jerman, sendirian. Awalnya happy2 aja pas tinggal di flat kantor karena banyak teman dan gk banyak urusan household yg perlu dipikirin. Things got worse when I moved into my own apartment. Gw mulai sering anxious lagi. I was under a false impression that I didn’t have enough money. Ini karena pengeluaran di awal gede bgt (flight ticket dan deposit sebesar 3 months rent!) dan relocation budget yg dikasih kantor sistemnya reimburse, jadi gw mesti nombokin sendiri di awal. Ditambah byk yg perlu diurus: pilih provider listrik & internet, surat2 bahasa jerman yang datang dkk. Sumpah pusing bgt, tiap hari gw anxious gajelas. Padahal sbnrnya gw ga kekurangan uang sama sekali… bahkan gw bisa jalan2. Lalu ada false impression kedua, yaitu I was being very slow at work. Gw ngerasa kalo gw gangerti2 topik dan konteksnya, gw merasa cupu bgt karena gw gapunya background riset dan stiatistik yang kuat, gw merasa cupu karena gapernah query insert table, gw merasa useless dan worthless bgt. But none of it was true! I feel blessed karena manajer gw yang sekarang sangat straightforward dan able to notice strengths & weaknesses gw.  Project partner gw juga baik hati dan bener2 treat me with respect tiap kali diskusi bareng. Bulan lalu gw baru aja dikasih lihat hasil peer review gw, dan ternyata mereka kasih gw nilai yang above average, sementara gw kasih diri gw self evaluation yg average doang. Manajer gw sampai bilang “don’t be too hard on yourself.” Ohiya pada masa ini juga gw mulai coba take Vitamin B Complex kalo anxiety attack gw muncul.
  8. Ketemu orang2 indo yang di Dusseldorf ataupun Eropa. Salah satunya Nunu yang dulu sekosan bareng pas kuliah di ITB. Random bgt skrg kita sama2 kerja di Dusseldorf, pdhl udh gapernah ketemu dari sejak dia lulus S1 dan lanjut ke Jepang sampai PhD. Later on pas lagi ngobrol sama teman sekantor ternyata fenomena ini gk se-random itu, dan dia recommend gw utk baca ttg theory of chaos. Sempat juga datang ke nikahan teman di Turki, dan jadi ketemu org2 indo lain yang juga kerja di Europe (mostly anak2 ITB yg gw udh kenal dari pas kuliah). Terus kyk keren aja gitu temen2 gw kerja di FB, Twitter, Cookpad, Amazon, dkk di berbagai negara Eropa.
  9. Gw selesai baca “Man’s Search for Meaning.” Buku ini sangat life changing buat gw karena dari buku ini gw mendapat jawaban dari kegalauan, pertanyaan, dan masalah2 gw di 2019. I will make a new post about the book later on. But for now gw pengen share quote dari Nietzsche yang juga di-mention di buku itu: “He who has a why can bear with almost any how”
  10. At times gw merasa lonely, but that’s not completely true. Gw nya aja yang terlalu males untuk make an effort buat dekat dengan orang lain. Makanya skrg gw lagi belajar utk lebih aware what other people are going through dan lebih sering nge initiate conversation.

Wow panjang juga. All in all gw masih amazed by how far I’ve come. Apalagi kalau baca tweet 10 tahun yang lalu, the younger me gapernah ngebayangin punya cita2 ini hahaha.

Hopefully kedepannya gw bisa mulai rajin blogging lagi. It’s 2AM in the morning in Dusseldorf now so I’m signing off.

 

Mendapatkan Visa Kerja Jerman / Blue Card

Saya pindah ke Jerman! Tepat hari ini, sudah 22 hari saya tidak menghirup polusi udara Jakarta. Saat ini saya tinggal di kota Dusseldorf, dan sudah 3 minggu saya bekerja di salah satu perusahaan teknologi disini (hint: you probably have heard of its name…). Pada artikel ini saya akan share pengalaman saya saat mendaftar dan mendapatkan visa kerja Jerman, beserta hambatan yang terjadi dan bagaimana cara saya solve masalah tsb. Siapa tau berguna untuk yang bernasib sama 🙂

Pada bulan Mei, setelah melalui beberapa tes dan interview, akhirnya saya mendapatkan job offer dari perusahaan di Jerman. Setelah menandatangani kontrak, pihak perusahaan menjelaskan proses yang perlu dilaui agar saya bisa mendapatkan visa kerja yang berupa EU Blue Card. Untuk mendapatkan Blue Card ini, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi, yaitu kontrak kerja, minimum salary, education degree. Untuk lebih jelasnya mengenai apa itu Blue Card dan syarat2nya, silahkan dicek sendiri di tautan ini.

Menurut pihak perusahaan, saya sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan Blue Card. Oleh karena itu mereka memulai proses pengajuan agar saya mendapatkan pre-approval untuk izin kerja saya, sehingga nanti pemrosesan dokumen di kedubes bisa lebih cepat. In the meantime, saya diminta mulai booking slot appointment di kedubes untuk submit persyaratan dokumen yang diperlukan.

Slot appointment di kedutaan penuh & ijazah dipermasalahkan karena tidak ada di Anabin?!

Untuk kelanjutannya silahkan dibaca di halaman blog pribadi saya https://www.dindatc.com/mendapatkan-visa-kerja-jerman-blue-card 

—-

Karena drama tersebut, total waktu yang diperlukan untuk proses visa saya adalah sekitar 3 minggu lol. Padahal, saya rasa sebenarnya jika ijazah saya tidak dipermasalahkan, proses visa bisa selesai dalam 1 minggu saja. But any obstacles wouldn’t really matter as long as it’s a happy ending!

New Resolution: Spending 1 Hour/Day To Learn Something New

I felt uncomfortable recently because I think my academic life had been going on smoothly. I’m always scared of staying still in a comfort zone.  I believe that life is supposed to be difficult, and that I learn the most when I face difficulties in the things I do. Satisfaction is a dangerous feeling when it comes to mastering a subject.

Even worse, I had spent so many months without reading books to improve my skills & knowledge. Well I did read some novels but it was for leisure not for learning. I was literally asking myself where had I been in the past few months. How did I become a passive learner? I have always felt pity for people who never study outside of what’s given to them at school, but then I turned into one of them. I knew I would end up hating myself if I let it continues.

Since I can’t turn back the time and I need to make up for the loss time, I thought it’s best to make a resolution to improve myself. Starting this month, I will spend at least 1 hour per day to learn something new. No matter how busy I am, there should not be any excuse. So I dedicated a Trello Board for the backlog (yeah this to-do/WIP/done has become a way of life for me).

Screen Shot 2018-05-08 at 12.14.35 AM.png

I have officially started doing this initiative last weekend. So far it seems so good. In the last 3 days only I have finished 1 book and 3 online courses (I got so many done because I had nothing else to do). Hopefully this will continue.